Salman al Farisi
Salman berasal dari Isfahan, suatu daerah di bawah kekuasaan Kisra Persia, yang mayoritas beragama Majusi, kaum penyembah api. Ayahnya seorang pejabat setingkat bupati yang amat menyayanginya, dan ia diberikan tugas sebagai penjaga api suci, yang bertanggung jawab agar api sesembahan tetap menyala, tidak sampai padam. Sebuah tugas mulia dalam agama Majusi.
Jalan yang dilaluinya untuk memperoleh hidayah cukup berliku. Berawal dari ketertarikannya pada cara ibadah orang Nashrani, ia masuk agama Nashrani. Orang tuanya marah dan merantainya, tapi ia berhasil kabur dan mengikuti rombongan orang-orang Nashrani ke Syiria. Ia tinggal di gereja mengikuti seorang uskup sebagai pelayan, sekaligus belajar lebih dalam tentang agama barunya itu. Sayangnya uskup tersebut mengumpulkan sedekah untuk kepentingan pribadinya. Untungnya setelah uskup ini meninggal, sebagai penggantinya diangkat seorang yang saleh, sehingga ia memperoleh banyak kemajuan secara rohaniah. Ketika uskup tersebut akan meninggal, ia menyarankan Salman untuk menemui seorang pendeta di Mosul, karena ia melihat tidak ada orang yang cukup pantas dan baik sebagai penggantinya untuk gereja tersebut.
Salman berangkat ke Mosul menemui pendeta yang ditunjukkan uskup sambil menceritakan pengalaman dan pencariannya, dan ia diterima dengan baik. Sama seperti sang uskup sebelumnya, ketika akan meninggal, pendeta tersebut menyarankannya untuk tinggal bersama seorang saleh di Nasibin. Dan menjelang ajal, orang saleh di Nasibin inipun menyarankan untuk menemui seorang pemimpin yang saleh di Amuria, suatu kota wilayah Romawi.
Salman tinggal di Amuria dengan pemimpin yang saleh ini beberapa waktu lamanya. Sebagai bekal hidupnya ia memelihara beberapa ekor sapi dan kambing. Menjelang ajal sang Pemimpin Amuria itu, lagi-lagi Salman bertanya tentang siapa yang pantas diikuti dan bisa membimbingnya, pemimpin yang saleh ini berkata, "Wahai anakku, tak ada seorangpun yang kukenal yang sama keadaannya dengan kita, yang dapat kupercayakan engkau kepadanya. Tetapi sekarang telah dekat waktunya kebangkitan seorang nabi yang mengikuti agama Ibrahim secara murni. Ia nanti akan hijrah ke suatu tempat yang ditumbuhi kurma dan berada di antara dua bidang tanah yang berbatu-batu hitam. Seandainya engkau dapat kesana, temuilah dia. Ia mempunyai tanda-tanda yang jelas dan gamblang, ia tidak mau makan sedekah, tetapi ia bersedia menerima atau memakan hadiah yang diberikan kepadanya. Ia mempunyai cap kenabian di pundaknya, yang jika engkau melihatnya, engkau pasti mengenalinya."
Ketika ada rombongan dari jazirah Arab, yang ia tahu banyak ditumbuhi kurma sampai di Amuria, ia meminta untuk bisa mengikuti mereka dan memberikan imbalan ternak-ternaknya, dan mereka bersedia. Tetapi sampai di tempat bernama Wadil Qura, Salman dianiaya dan dijual sebagai budak kepada orang Yahudi.
Beberapa waktu kemudian datang seorang yahudi dari Bani Quraizhah, membelinya sebagai budak dan membawanya ke Yatsrib (nama Madinah pada masa jahiliah), untuk dipekerjakan di kebun kurmanya. Begitu tiba di Yatsrib, yakinlah ia bahwa ini negeri yang dimaksudkan oleh pemimpin yang saleh di Amuria. Karena itu ia bekerja dengan gembira walau sebagai budak, sambil menunggu kabar tentang munculnya nabi sebagaimana diramalkan oleh pemimpin Amuria tersebut.
Suatu ketika ia sedang di puncak pohon kurma, tiba-tiba datang sepupu majikannya dan berkata, "Bani Qilah celaka, mereka mengerumuni seorang lelaki dari Mekkah yang mengaku sebagai nabi. Mereka sedang berkumpul di Quba…."
Saat itu memang Nabi SAW bersama Abu Bakar baru saja tiba di Quba, singgah pada Bani Amr bin Auf. Mendengar kabar tersebut tubuh Salman bergoyang keras dan hampir jatuh menimpa tubuh tuannya di bawahnya. Ia bergegas turun dan tanpa sadar statusnya sebagai budak, ia menuju tamu tuannya dan berkata, "Apa kata anda? Ada kabar apakah?"
Majikannya memukulnya sekuatnya dan berkata, "Apa urusanmu dengan semua ini, cepat kembali bekerja."
Sore harinya setelah pekerjaannya selesai, ia mengumpulkan bahan makanan yang dimilikinya dan bergegas ke Quba menemui Nabi SAW dan para sahabatnya yang berkumpul. Ia berkata, "Tuan-tuan adalah perantau, kebetulan aku memiliki persediaan makanan untuk sedekah. Tentu tuan-tuan sangat membutuhkannya…."
Salman menaruh makanan tersebut di depan Nabi SAW, dan beliau memanggil para sahabatnya dan berkata "Makanlah dengan Nama Allah…!"
Mereka berkumpul menyantap makanan tersebut tetapi beliau sama sekali tidak menyentuhnya.
Melihat hal itu, Salman berkata dalam hati, "Demi Allah, inilah salah satu dari tanda-tanda ia seorang nabi, ia tidak mau memakan sedekah."
Keesokan harinya ia datang lagi menghadap Nabi SAW dengan membawa makanan dan ia berkata, "Kulihat tuan tidak mau makan sedeqah, tetapi ini adalah hadiah untuk tuan…"
Nabi SAW memanggil sahabat-sahabatnya untuk menyantap makanan yang dibawa Salman, dan beliaupun ikut memakannya. Dan Salman berkata dalam hati, "Ini adalah tanda yang kedua, beliau mau makan yang diberikan sebagai hadiah."
Beberapa hari (bulan) kemudian, Salman menemui Nabi SAW yang berada di Baqi sedang menguburkan jenazah seorang sahabat, beliau memakai dua kain lebar, satu untuk baju dan satunya untuk sarung. Ia memberi salam sambil melihat ke arah pundak beliau, dan beliau tanggap isyarat tersebut, Beliau sedikit menyingkapkan burdah dari leher sehingga Salman bisa melihat cap kenabian seperti diceritakan orang saleh Amuria.
Salman tidak bisa menahan diri lagi, pencarian panjangnya berakhir sudah. Ia menangis dan meratap sambil menciumi Nabi SAW. Setelah suasana emosional yang meliputinya mereda, ia duduk menghadap Rasulullah SAW dan menceritakan pengalaman dan perjalanan untuk mencapai hidayah Allah SWT ini. Ia segera mengucap syahadat untuk menyatakan keislamannya.
Ketika perang Badar dan Uhud berlangsung, Salman tidak bisa ikut serta karena statusnya sebagai budak jadi halangan baginya. Tuannya yang seorang Yahudi tentu saja tidak akan membiarkannya meninggalkan pekerjaan di kebun kurma untuk menyertai Nabi SAW di dua peperangan tersebut. Suatu ketika Nabi SAW berkata kepadanya, "Mintalah kepada tuanmu agar ia membebaskanmu dengan uang tebusan…!"
Salman menyampaikan hal itu kepada tuannya dan ia menyetujuinya. Nabi SAW menyeru kepada para sahabat untuk mengumpulkan dana sebagai pembayaran kebebasannya dari perbudakan. Maka jadilah ia orang merdeka dan lebih leluasa untuk belajar, beribadah dan berjuang bersama Nabi SAW.
Pada perang Ahzab, dimana beberapa kabilah di jazirah Arab bersekutu untuk menggempur Madinah, Nabi SAW mengadakan musyawarah bagaimana cara menghadapi mereka. Situasinya cukup kritis, karena menurut informasi yang dihimpun oleh mata-mata yang dikirimkan Nabi SAW, mereka ini lebih dari sepuluh ribu prajurit yang dipimpin oleh Abu Sufyan bin Harb. Jumlah ini lebih banyak daripada seluruh penduduk Madinah, termasuk wanita dan anak-anaknya. Apalagi pasukan sekutu yang sebenarnya atas inisiatif kaum Yahudi Bani Nadhir ini, sempat mempengaruhi kaum Yahudi Bani Quraizhah yang tinggal di Madinah untuk mendukung mereka, padahal kabilah ini terikat perjanjian damai dengan Nabi SAW dalam Piagam Madinah.
Setelah berlangsung diskusi cukup lama dan beberapa usulan masuk kepada Nabi SAW, Salman berkata kepada beliau, "Wahai Rasulullah, dulu kami orang-orang Persi jika sedang dikepung musuh, kami menggali parit di sekeliling kami untuk mempertahankan diri. Bagaimana kalau kita menggali parit untuk perlindungan kota Madinah??"
Usulan yang cukup brillian ini diterima oleh forum musyawarah. Itulah sebabnya perang Ahzab ini juga dikenal sebagai Perang Khandaq (Perang Parit). Terbuktilah kemudian strategi ini sangat berhasil, gelombang pasukan yang begitu besar yang dipimpin oleh Abu Sufyan bin Harb ternyata tak berkutik. Strategi ini tidak pernah dikenal oleh orang-orang Arab yang pada dasarnya suka berperang, karena itu mereka tidak pernah mengantisipasi sebelumnya. Akhirnya mereka hanya bisa melakukan pengepungan, yang sebenarnya inipun di luar perhitungan mereka, secara perbekalanpun tidak dipersiapkan unuk itu.
Pada perang Ahzab ini tidak terjadi perang fisik secara besar-besaran, hanya percikan kecil ketika sekelompok kecil orang Quraisy berusaha menyeberangi parit dan tentunya dengan mudah dipatahkan oleh Pasukan Muslim yang telah bersiap di sisi parit. Bisa dikatakan ini adalah Psy War, perang urat syaraf yang menguji keteguhan dan kesabaran mental para pelakunya. Memang pasukan muslim sempat terganggu dengan pengkhianatan kaum Yahudi Bani Quraizhah, tetapi setelah hampir sebulan pengepungan, Allah menurunkan pertolonganNya, termasuk dalam bentuk Islamnya Nu'aim bin Mas'ud bin Amir al Asyjay, sehingga pasukan sekutu terpecah-belah dan pulang kembali ke tempat masing-masing tanpa hasil yang diharapkan.
Salman yang masih Majusyi, hidup dalam kemewahan sebagai anak pejabat setingkat bupati, dalam jabatan mulia penjaga api sembahan orang Majusyi, semua itu ditinggalkannya ketika percik hidayah menyapanya. Hidup terlunta berpindah-pindah, bahkan menjadi budak sekalipun tidak dihiraukan asal menemukan titik hidayah tersebut. Ini menunjukkan karakter seperti apa yang dimiliki Salman. Dan karakter ini makin menguat ketika sosok hidayah tersebut adalah Rasulullah SAW, suatu teladan hidup dalam kesederhanaan dan jauh dari cinta dunia.
Ketika Islam mengalami kejayaan, harta kekayaan mengalir ke Madinah dan wilayah makin meluas, sebagai salah seorang sahabat utama Nabi SAW, mau tidak mau, suka tidak suka Salman jadi terlibat juga dalam hal yang sebenarnya tidak disukainya, jabatan dan kekayaan. Khalifah Umar memaksanya untuk memegang jabatan Amir di wilayah Madain, padahal ia selalu menolak suatu jabatan kecuali sebagai pimpinan pasukan yang berjuang di jalan Allah, karena ia memang sangat merindukan menjadi syahid. Bahkan ia punya prinsip, yakni : "Jika engkau masih mampu makan tanah, asal tidak membawahi dua orang manusia, maka lakukanlah!!"
Tetapi menghadapi khalifah Umar yang sama zuhudnya dengan dirinya ia tidak berkutik, Umar selalu berkata kepada para sahabat yang menolak jabatan karena zuhud, seperti ini atau semisal ini, "Kalian telah memba'iat dan membebani aku dengan amanat ini, yang aku sendiri tidak menginginkannya, maka tolonglah aku untuk menjalankan amanat ini…."
Menjadi Amir di Madain ternyata tidak melunturkan karakter kesederhanaannya. Ketika rumah jabatan disiapkan oleh seorang tukang bangunan, ia bertanya, "Rumah seperti apa yang engkau siapkan untuk diriku??"
Ternyata tukang bangunan tersebut sangat mengenal karakter Salman, ia berkata, "Jangan anda khawatir, rumah tersebut merupakan bangunan yang bisa dijadikan tempat berteduh di waktu hujan, bernaung di waktu panas. Jika anda berdiri dan merentangkan tangan ke atas, anda akan menyentuh langit-langitnya, jika anda berbaring, kepala dan kaki anda akan menyentuh dinding dindingnya…"
Salman puas dengan penjelasan tersebut. Tunjangannya sebagai amir adalah empat ribu sampai enam ribu dirham setahun, tetapi itu langsung habis disedekahkan pada hari ia menerimanya. Di sela waktu melayani keperluan umat, ia asyik menjalin dan mengayam daun kurma menjadi bakul atau keranjang. Setelah selesai, dijualnya ke pasar seharga tiga dirham, satu dirham dibelikan daun kurma (untuk bahan membuat keranjang), satu dirham untuk menafkahi keluarganya dan satu dirham sisanya disedekahkan.
Suatu ketika ada seorang Syria yang membawa sepikul buah tin dan kurma, ia tampak kesulitan karena bebannya terlalu berat. Ketika lewat seseorang yang tampak miskin dan kumuh, ia berkata, "Tolong bawakan barangku ini ke rumahku, nanti aku beri upah.."
Tanpa banyak bicara orang tersebut bersedia membantunya, mereka berjalan beriringan ke rumahnya. Anehnya setiap kali bertemu serombongan orang, orang yang membantunya itu memberi salam, dan mereka menjawab, "Juga kepada Amir, kami ucapkan salam…!"
Bahkan terkadang salah seorang dari mereka menghampiri untuk mengambil alih memikulnya, tetapi selalu ditolaknya. Ketika keheranannya makin memuncak, ia sadar bahwa yang membantunya tersebut adalah Amir kota Madain, Salman al Farisi. Buru-buru ia meminta maaf dan akan mengambil alih pikulannya, tetapi Salman berkata, "Tidak usah, biarlah akan kuantar sampai ke rumahmu seperti telah kuniatkan…."
EmoticonEmoticon