DAULAH ABASIYAH

Labels:
SEJARAH ISLAM

DAULAH ABASIYAH (750-1258 Masehi)

Khilafah Abbasiyah, melanjutkan kekuasaan dinasti Bani Umayyah. Dinamakan khilafah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan al-Abbas paman Nabi Muhammad SAW. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abass. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) sampai dengan 656 H (1258 M). Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial dan budaya. Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik itu, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode:

1. Periode Pertama (132 H/750 M-232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia pertama.
2. Periode Kedua (232 H/847 M-334 H/945 M), disebut pereode pengaruh Turki pertama.
3. Periode Ketiga (334 H/945 M-447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Buwaih dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua.
4. Periode Keempat (447 H/1055 M-590 H/l194 M), masa kekuasaan dinasti Bani Seljuk dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah; biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua.
5. Periode Kelima (590 H/1194 M-656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Bagdad.

Muhammad al-Saffah atau Abu Abbas berhasil merebut kekuasaan dari Bani Umayah pada 750 Masehi. Ia memanfaatkan ketidakpuasan orang-orang Islam non-Arab, kalangan Syiah serta keluarganya sendiri, Keluarga Hasyim. Ia membangun kekuasaan itu bersama Abu Muslim dari Khurasan. Maka yang dilakukannya adalah mengurangi pengaruh Arab di pemerintahan.

Hanya empat tahun Abu Abbas memerintah. Ia meninggal. Khalifah berikutnya adalah Abu Ja'far (754-775). Dialah khalifah pertama menggunakan gelar. Untuk dirinya sendiri, ia menggunakan gelar Al-Mansyur. Pemerintahannya banyak mengakomodasi kepentingan masyarakat Persia. Ibukota negara bahkan dipindahkan ke tepi Sungai Tigris dekat Ctesiphon, ibukota Kekaisaran Persia dulu.

Disebutkan, Al-Mansyur melakukan survei mendalam untuk penentuan lokasi ibukota. Dia mengirim staf untuk tinggal di sana guna membuat laporan keadaan wilayah itu di berbagai musim. Ia disebut mendatangkan sekitar 100.000 pekerja dari berbagai daerah Kufah, Basrah, Mosul maupun Syria-untuk menjadi arsitek, tukang bangunan, juru pahat, pelukis untuk membangun tempat yang dulu dipakai sebagai peristirahatan Kaisar Kisra Anusyirwan. Sekitar tahun 762 Masehi, lahirlah kota Baghdad sebagai salah satu kota termegah di dunia saat itu.

Al-Mansyur dianggap sebagai tonggak pembangun kejayaan Abbasiyah. Namun itu dilakukannya dengan tangan besi pula. Abdullah dan Shalih bin Ali, dua orang pamannya yang menolak berbaiat untuknya, dibunuh Abu Muslim atas suruhannya. Abu Muslim sendiri kemudian ia bunuh. Untuk militer, ia kembali melakukan ekspansi untuk menguasai kembali wilayah-wilayah Bani Umayah dulu. Ia mengenalkan konsep 'wazir' yang sekarang diistilahkan sebagai perdana menteri. Jawatan pos diberi tugas intelejen -termasuk mengawasi para gubernur.

Di sisi lain, Baghdad dibangunnya sebagai pusat peradaban. Ilmu dan kesenian dikembangkan. Di Kufah, di masa Al-Mansyur, imam Abu Hanifah (700-767) diberinya tempat yang baik. Abu Hanifah berkesempatan untuk merumuskan hukum-hukum Islam, yang kemudian dikenal sebagai mazhab Hanafi. Sebuah mazhab yang sangat dipengaruhi kecenderungan kalangan intelektual muslim di Kufah: kuat dalam rasionalitas.

Kemakmuran masyarakat terwujud pada masa khalifah Al-Mahdi (775-785). Program irigasi berhasil meningkatkan produksi pertanian berlipat kali. Jalur perdagangan dari Asia Tengah dan Timur hingga Eropa melalui wilayah kekhalifahan Abbasiyah berjalan pesat. Pertambangan emas, perak, besi dan tembaga, berjalan dengan baik. Basrah di Teluk Persia tumbuh menjadi satu pelabuhan terpenting di dunia.

Bersamaan dengan itu, ilmu pengetahuan tumbuh subur. Di Madinah, Imam Malik (713-795) juga menyusun fikih atau hukum Islam. Ia tak seperti Hanafi. Ia banyak menggunakan hadis secara langsung serta tradisi masyarakat Madinah. Puncak peradaban Islam terjadi pada masa Harun Al-Rasyid (786-809). Bukan hanya kemakmurn masyarakat yang dicapai, namun juga pendidikan, kebudayaan, sastra dan lain-lain.

Popularitas daulat Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun al-Rasyid (786-809 M) dan puteranya al-Ma'mun (813-833 M). Kekayaan yang banyak dimanfaatkan Harun al-Rasyid untuk keperluan sosial. Rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi didirikan. Pada masanya sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter. Disamping itu, pemandian-pemandian umum juga dibangun. Kesejahteraan, sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi. Al-Ma'mun, pengganti al-Rasyid, dikenal sebagai khalifah yang sangat cinta kepada ilmu. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Untuk menerjemahkan buku-buku Yunani, ia menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen dan penganut agama lain yang ahli. Ia juga banyak mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Bait al-Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada masa Al-Ma'mun inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.

Harun Al-Rasyid membangun rumah-rumah sakit, sekolah kedokteran, serta farmasi. Saat itu, diperkirakan terdapat 800 orang dokter. Ia juga membangun pemandian-pemandian umum. Istrinya membangun saluran air dari Taif untuk memenuhi kebutuhan air di Mekah yang tak cukup dipenuhi oleh sumur zamzam.

"Masa keemasan" ini dilanjutkan oleh Al-Ma'mun (813-833). Dia mendirikan banyak sekolah. Berbagai buku Yunani diterjemahkannya ke bahasa Arab. Ia mendirikan pula "Bait Al-Hikmah" -perpustakan sekaligus perguruan tinggi. Di masanya, Imam Syafi'i (767-820) serta Imam Ahmad bin Hanbal (780-855) juga menulis kitab fikih yang kemudian menjadi mazhab sendiri. Mazhab dengan pendekatan yang berada di antara mazhab Hanafi dan Maliki. Pemikir Islam yang mengedepankan rasionalitas, yang dikenal dengan sebutan Mu'tazilah, yakni Abu Huzail (752-849) dan Al-Nazam (801-835) juga melempar gagasannya pada periode ini.

Hingga khalifah Al-Mutawakkil (847-861), Daulat Abbasiyah masih menampakkan kebesarannya. Namun, dalam politik, Al-Mutawakkil mulai membuat sejumlah perubahan. Ia lebih berorientasi pada orang-orang Turki dibanding Persia. Paham keagamaan negara pun ia ubah. Khalifah Al-Ma'mun menggunakan paham rasional mu'tazilah untuk negara. Al-Mutawakil mencabut paham itu, dan menggunakan aliran 'salaf' dari mazhab Hambali.

PRESTASI DINASTI BANI ABAS

Sebagaimana diuraikan di atas, puncak perkembangan kebudayaan dan pemikiran Islam terjadi pada masa pemerintahan Bani Abbas. Akan tetapi, tidak berarti seluruhnya berawal dari kreativitas penguasa Bani Abbas sendiri. Sebagian di antaranya sudah dimulai sejak awal kebangkitan Islam. Dalam bidang pendidikan, misalnya, di awal Islam, lembaga pendidikan sudah mulai berkembang. Ketika itu, lembaga pendidikan terdiri dari dua tingkat:

Maktab/Kuttab dan masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, hitungan dan tulisan; dan tempat para remaja belajar dasar-dasar ilmu agama, seperti tafsir, hadits, fiqh dan bahasa.

Tingkat pendalaman. Para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, pergi keluar daerah menuntut ilmu kepada seorang atau beberapa orang ahli dalam bidangnya masing-masing. Pada umumnya, ilmu yang dituntut adalah ilmu-ilmu agama. Pengajarannya berlangsung di masjid-masjid atau di rumah-rumah ulama bersangkutan. Bagi anak penguasa pendidikan bisa berlangsung di istana atau di rumah penguasa tersebut dengan memanggil ulama ahli ke sana.
Lembaga-lembaga ini kemudian berkembang pada masa pemerintahan Bani Abbas, dengan berdirinya perpustakaan dan akademi. Perpustakaan pada masa itu lebih merupakan sebuah universitas, karena di samping terdapat kitab-kitab, di sana orang juga dapat membaca, menulis dan berdiskusi.

Perkembangan lembaga pendidikan itu mencerminkan terjadinya perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Hal ini sangat ditentukan oleh perkembangan bahasa Arab, baik sebagai bahasa administrasi yang sudah berlaku sejak zaman Bani Umayyah, maupun sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Disamping itu, kemajuan itu paling tidak, juga ditentukan oleh dua hal, yaitu:

Terjadinya pertukaran budaya dan pengetahuna antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada masa pemerintahan Bani Abbas, bangsa-bangsa non Arab banyak yang masuk Islam. Bangsa-bangsa itu memberi peran tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Pengaruh Persia, sebagaimana sudah disebutkan, sangat kuat di bidang pemerintahan. Disamping itu, bangsa Persia banyak berjasa dalam perkembangan ilmu, filsafat dan sastra. Pengaruh India terlihat dalam bidang kedokteran, ilmu matematika dan astronomi. Sedangkan pengaruh Yunani masuk melalui terjemahan-terjemahan dalam banyak bidang ilmu, terutama filsafat.

Gerakan terjemahan yang berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama, pada masa khalifah al-Manshur hingga Harun al-Rasyid. Pada fase ini yang banyak diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan manthiq. Fase kedua berlangsung mulai masa khalifah al-Ma'mun hingga tahun 300 H. Buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan kedokteran. Fase ketiga berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas. Bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas.

Pengaruh dari kebudayaan bangsa yang sudah maju tersebut, terutama melalui gerakan terjemahan, bukan saja membawa kemajuan di bidang ilmu pengetahuan umum, tetapi juga ilmu pengetahuan agama. Dalam bidang tafsir, sejak awal sudah dikenal dua metode, penafsiran pertama, tafsir bi al-ma'tsur, yaitu interpretasi tradisional dengan mengambil interpretasi dari Nabi dan para sahabat. Kedua, tafsir bi al-ra'yi, yaitu metode rasional yang lebih banyak bertumpu kepada pendapat dan pikiran daripada hadits dan pendapat sahabat. Kedua metode ini memang berkembang pada masa pemerintahan Bani Abbas. Akan tetapi jelas sekali bahwa tafsir dengan metode bi al-ra'yi, (tafsir rasional), sangat dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan. Hal yang sama juga terlihat dalam ilmu fiqh dan terutama dalam ilmu teologi. Perkembangan logika di kalangan umat Islam sangat mempengaruhi perkembangan dua bidang ilmu tersebut.

Imam-imam mazhab hukum yang empat hidup pada masa pemerintahan Abbasiyah pertama. Imam Abu Hanifah (700-767 M) dalam pendapat-pendapat hukumnya dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi di Kufah, kota yang berada di tengah-tengah kebudayaan Persia yang hidup kemasyarakatannya telah mencapai tingkat kemajuan yang lebih tinggi. Karena itu, mazhab ini lebih banyak menggunakan pemikiran rasional daripada hadits. Muridnya dan sekaligus pelanjutnya, Abu Yusuf, menjadi Qadhi al-Qudhat di zaman Harun al-Rasyid.

Berbeda dengan Abu Hanifah, Imam Malik (713-795 M) banyak menggunakan hadits dan tradisi masyarakat Madinah. Pendapat dua tokoh mazhab hukum itu ditengahi oleh Imam Syafi'i (767-820 M) dan Imam Ahmad ibn Hanbal (780-855 M).

Disamping empat pendiri mazhab besar tersebut, pada masa pemerintahan Bani Abbas banyak mujtahid mutlak lain yang mengeluarkan pendapatnya secara bebas dan mendirikan mazhab-nya pula. Akan tetapi, karena pengikutnya tidak berkembang, pemikiran dan mazhab itu hilang bersama berlalunya zaman.

Aliran-aliran teologi sudah ada pada masa Bani Umayyah, seperti Khawarij, Murjiah dan Mu'tazilah. Akan tetapi perkembangan pemikirannya masih terbatas. Teologi rasjonal Mu'tazilah muncul di ujung pemerintahan Bani Umayyah. Namun, pemikiran-pemikirannya yang lebih kompleks dan sempurna baru dirumuskan pada masa pemerintahan Bani Abbas periode pertama, setelah terjadi kontak dengan pemikiran Yunani yang membawa pemikiran rasional dalam Islam. Tokoh perumus pemikiran Mu'tazilah yang terbesar adalah Abu al-Huzail al-Allaf (135-235 H/752-849M) dan al-Nazzam (185-221 H/801-835M). Asy'ariyah, aliran tradisional di bidang teologi yang dicetuskan oleh Abu al-Hasan al-Asy'ari (873-935 M) yang lahir pada masa Bani Abbas ini juga banyak sekali terpengaruh oleh logika Yunani. Ini terjadi, karena al-Asy'ari sebelumnya adalah pengikut Mu'tazilah. Hal yang sama berlaku pula dalam bidang sastra. Penulisan hadits, juga berkembang pesat pada masa Bani Abbas. Hal itu mungkin terutama disebabkan oleh tersedianya fasilitas dan transportasi, sehingga memudahkan para pencari dan penulis hadits bekerja.

Pengaruh gerakan terjemahan terlihat dalam perkembangan ilmu pengetahuan umum, terutama di bidang astronomi, kedokteran, filsafat, kimia dan sejarah. Dalam lapangan astronomi terkenal nama al-Fazari sebagai astronom Islam yang pertama kali menyusun astrolobe. Al-Fargani, yang dikenal di Eropa dengan nama Al- Faragnus, menulis ringkasan ilmu astronomi yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Gerard Cremona dan Johannes Hispalensis. Dalam lapangan kedokteran dikenal nama al-Razi dan Ibn Sina. Al-Razi adalah tokoh pertama yang membedakan antara penyakit cacar dengan measles. Dia juga orang pertama yang menyusun buku mengenai kedokteran anak. Sesudahnya, ilmu kedokteraan berada di tangan Ibn Sina. Ibn Sina yang juga seorang filosof berhasil menemukan sistem peredaran darah pada manusia. Diantara karyanya adalah al-Qoonuun fi al-Thibb yang merupakan ensiklopedi kedokteran paling besar dalam sejarah.

Dalam bidang optikal Abu Ali al-Hasan ibn al-Haythami, yang di Eropa dikenal dengan nama Alhazen, terkenal sebagai orang yang menentang pendapat bahwa mata mengirim cahaya ke benda yang dilihat. Menurut teorinya yang kemudian terbukti kebenarannya bendalah yang mengirim cahaya ke mata. Di bidang kimia, terkenal nama Jabir ibn Hayyan. Dia berpendapat bahwa logam seperti timah, besi dan tembaga dapat diubah menjadi emas atau perak dengan mencampurkan suatu zat tertentu. Di bidang matematika terkenal nama Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi, yang juga mahir dalam bidang astronomi. Dialah yang menciptakan ilmu aljabar. Kata "aljabar" berasal dari judul bukunya, al-Jabr wa al-Muqoibalah. Dalam bidang sejarah terkenal nama al-Mas'udi. Dia juga ahli dalam ilmu geografi. Diantara karyanya adalah Muuruj al-Zahab wa Ma'aadzin al-Jawahir.

Tokoh-tokoh terkenal dalam bidang filsafat, antara lain al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd. Al-Farabi banyak menulis buku tentang filsafat, logika, jiwa, kenegaraan, etika dan interpretasi terhadap filsafat Aristoteles. Ibn Sina juga banyak mengarang buku tentang filsafat. Yang terkenal diantaranya ialah al-Syifa'. Ibn Rusyd yang di Barat lebih dikenal dengan nama Averroes, banyak berpengaruh di Barat dalam bidang filsafat, sehingga di sana terdapat aliran yang disebut dengan Averroisme.

Demikianlah kemajuan politik dan kebudayaan yang pernah dicapai oleh pemerintahan Islam pada masa klasik, kemajuan yang tidak ada tandingannya di kala itu. Pada masa ini, kemajuan politik berjalan seiring dengan kemajuan peradaban dan kebudayaan, sehingga Islam mencapai masa keemasan, kejayaan dan kegemilangan.

Artikel Terkait

Previous
Next Post »