Kisah sahabat nabi : Al-Mutsanna bin Haritsah
Asy-Syaibani Radhiallâhu 'anhu Al-Mutsanna bin Haritsah Asy-Syaibani. Dia tiba-tiba muncul di Madinah untuk menyampaikan usulan yang mengandung risiko tinggi kepada Khalifah Abu Bakar, yaitu menyerang Persia. Perang Jisr ( Perang Jembatan ) terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khaththab. Ketika itu, tentara muslimin di Persia berada di bawah komando Abu Ubaid, didampingi oleh Al-Mutsanna bin Haritsah Asy-Syaibani. Al-Mutsanna, yang berasal dari perbatasan Bahrain, dilukiskan sebagai seorang ksatria pemberani dan jujur yang telah makan asam garam peperangan di Persia yang tidak pernah dialami oleh orang lain. Maklum, dia adalah anggota pasukan penunggang kuda yang sangat terkenal dari Bani Syaiban.
Dia masuk Islam langsung di hadapan Rasulullah SAW pada tahun ke-10 Hijriyyah, menjelang akhir kehidupan beliau. Sehingga sebagai sahabat dia tidak pernah mengalami peperangan bersama Rosul. Al-Mutsanna memulai perjalanan panjangnya berjihad di jalan Allah bersama Khalifah Abu Bakar Shiddiq, yaitu dalam Perang Riddah, ketika kaum muslimin memerangi kaum murtad yang mengakui nabi baru selain Nabi Muhammad SAW. Kala itu Al-Mutsanna bergabung dengan pasukan Al-A’la bin Al-Hadhrami, yang ditugasi menumpas kaum murtadin di Bahrain. Tugas pertamanya itu berjalan sukses. Selain berhasil mengembalikan sebagian orang Bahrain kepada ajaran Islam, dia juga menaklukkan kota-kota yang disinggahinya hingga sampai ke tepian Sungai Eufrat dan Tigris di Irak. Sukses itu tak pelak mengundang tanya di antara panglima muslimin di Madinah. “Siapakah orang ini? Dia datang kepada kita sebelum kita ketahui nasabnya.”
Namun mereka tak perlu berlama-lama menggantung pertanyaan itu, karena Qais bin Ashim At-Tamimi segera menjawab. “Dia adalah pembesar kaum Wabr di dekat Bahrain dan sahabat Nabi yang berhati lembut. Nasabnya bisa dilacak dengan jelas.” Ketika orang-orang di Madinah masih terkesan kepadanya, Al-Mutsanna tiba-tiba muncul di Madinah untuk menyampaikan usulan yang mengandung risiko tinggi Kepada Khalifah Abu Bakar, yaitu menyerang Persia, yang saat itu sudah menjadi musuh Islam. Ya, sampai detik itu, belum terpikir di kalangan umat muslim untuk menyerang Persia. Persia kala itu adalah negara adidaya dengan kekuatan militer dan dana yang sangat besar. Namun baginya, itu bukan persoalan. Yang penting ada niat dan kemauan untuk mengalahkan mereka. “Mohon berikan amanah kepadaku untuk memimpin kaumku menyerang Persia,” kata Al-Mutsanna kepada Abu Bakar dengan takzimnya. “Aku dan kaumku cukup untuk mengalahkan mereka.” Dengan demikian dia adalah orang Arab pertama yang memotivasi bangsa Arab dan kaum muslimin untuk menyerang Persia.
Demikianlah, dalam masa pemerintahan Abu Bakar, yang hanya dua tahun, tahun 11-12 H atau tahun 632-634 M, Al-Mutsanna ikut berjuang dalam beberapa peperangan bersama Khalid bin Walid Al-Makhzumi yang menjadi panglima utamanya. Seperti Perang Rantai (633 M) di Shatt Al-Arab di dekat Bashrah, kemudian Perang Sungai (633 M) di daerah Madzar, dan Perang Hirah, yang merupakan pengepungan tiga istana Persia, yaitu istana Ibnu Baqilah, istana Putih, dan istana Al-Adsiyin. Ketiga peperangan itu semua terjadi di daerah Irak dan dimenangkan oleh kaum muslimin. Al-Mutsanna bahkan sempat menyaksikan kepulangan Abu Bakar ke alam baqa, yaitu ketika dia datang ke Madinah ingin melaporkan strategi militer yang dia terapkan dalam pertempuran di Namariq. Kala itu sebenarnya dia ingin minta izin untuk minta bantuan dari orang-orang yang pernah murtad lalu bertaubat. Namun karena jawaban tak kunjung datang, dan rupanya Abu Bakar tengah sakit, dia pun pergi ke Madinah, setelah menyerahkan tanggung jawab kepemimpinan dan tentaranya kepada Basyir bin Khashashiyah.
Khalifah Abu Bakar puas dengan penjelasannya dan beberapa hari kemudian beliau menghadap Ilahi. Tragedi Jisr Perang Jisr memang terjadi di seputar jembatan di daerah Mirwahah yang membentang di Sungai Eufrat, Irak. Kala itu pasukan Persia dalam keadaan gontai setelah berbagai kekalahan menghadapi tentara muslimin yang dikomandani Abu Ubaid. Ketika sampai di Qiss Al-Natif, Rostam, si panglima tentara Persia, mengangkat Bahman Jadhweh dan memimpin tentara gajah menuju Madain, ibu kota Persia, untuk menghadapi gerak maju pasukan muslimin dan berperang melawan mereka. Di seberang Sungai Eufrat yang bernama Mirwahah, Abu Ubaid, yang didampingi Al-Mutsanna, telah siap menanti mereka Dari seberang sungai, Bahman berteriak, “Siapa yang akan menyeberangi sungai ini, kami atau kalian?” Para sahabat Rasulullah SAW ingin menasihati Abu Ubaid agar tidak menyeberang sungai. Namun Abu Ubaid bersikeras. “Musuh kita tidak lebih berani mati daripada kita,” katanya menepis nasihat itu. Maka ia memberi komando agar pasukannya, yang berkekuatan 10 ribu personel, menyeberangi sungai. Padahal tempat di seberang sungai tidak cukup luas untuk menampung orang sebanyak itu. Begitu pasukan muslimin sampai di seberang, Bahman tidak membuang-buang waktu dan segera menyerang kaum muslimin dengan menyertakan pasukan gajahnya di barisan terdepan. Ternyata cara itu ampuh, kuda-kuda tentara muslimin kocar-kacir ketakutan dan berusaha menjauh. Hal itu memaksa tentara berkuda pimpinan Al-Mutsanna turun dari punggung kuda mereka. Namun tentara musuh pun tetap merangsek, hingga banyak korban berjatuhan di kubu muslimin. Dalam pertempuran ini Abu Ubaid mati syahid terinjak gajah yang mengamuk dan Al-Mutsanna sendiri luka-luka. Melihat situasi seperti itu, Al-Mutsanna, yang otomatis memegang komando, memerintahkan pasukannya untuk mundur ke seberang sungai. Tapi usaha penyeberangan ini tidak berjalan mulus, karena tiba-tiba salah seorang komandan muslimin yang bernama Abdullah bin Mirdad Ats-Tsaqafi memutus jembatan tersebut sehingga banyak tentara muslimin yang kecebur ke sungai dan tewas. Karena pilihannya menurut dia cuma ada dua: maju terus, atau mati syahid. Al-Mutsanna lalu berusaha memperbaiki jembatan itu, sementara pasukannya menyeberanginya, sehingga dia sendiri adalah orang terakhir yang menyeberangi jembatan itu. Setiba di Juraih, sebagian tentara itu kembali ke Madinah, sementara yang lainnya menyebar ke pelosok-pelosok dengan membawa kekalahan. Mendengar berita itu, Umar langsung menemui mereka dan berusaha menghibur mereka. “Jangan kalian risau, aku bersama kalian. Sesungguhnya kalian telah melaksanakan tugas. Maka barang siapa bertemu musuh, lantas ada hal yang membuatnya tidak meneruskan langkah, aku akan tetap bersamanya.” Pasukan muslimin memang kalah dalam Perang Jembatan. Namun kemudian mereka melangkah menuju kemenangan di medan perang lainnya. Dan Al-Mutsanna bin Haritsah berperan sebagai panglima perang yang memimpin kemenangan-kemenangan itu.
EmoticonEmoticon